Minggu, 15 Mei 2011

Metamorfosis Becak Semarang

Diposting oleh Muhammad Fakhrial Zld
DARI belasan becak yang mangkal di depan Kantor Pos Besar Semarang, satu lebih menarik perhatian.
Itulah becak milik Wagiman.

Selain warnanya yang mencolok: biru-merah, kendaraan roda tiga itu juga telah berkawin silang. Bagian depan serupa
becak, belakangnya sepeda motor bikinan Jepang. Tak cuma itu, becak tersebut juga dilengkapi perangkat sound system. 

Wagiman amat membanggakan becaknya. Ia akan bersuka hati kalau diminta menceritakan ikhwal peranti kerjanya itu. Menurut Pak Man, sapaan Wagiman, ia memodifikasi becak sekitar 1,5 tahun lalu. Tujuannya, biar lebih keren dan sanggup menarik lebih banyak penumpang.

“Saya habis Rp 5 juta. Sebagian untuk beli sepeda motor, lainnya untuk mermak bodi bagian depan,” kata warga Sembungharjo, Genuk itu.

Sejatinya, becak motor Wagiman tak sendirian. Kalau kita perhatikan, banyak becak serupa yang hilir mudik di jalanan Kota
Semarang. Becak-becak itu bersaing dengan becak konvensional dalam mendapatkan penumpang.
Becak motor adalah varian mutakhir dari becak Semarang. Sebelumnya, moda transportasi asal Jepang itu telah bermetamorfosis dalam rentang waktu cukup panjang. Kali pertama hadir di Semarang pada sekitar tahun 1940-an, becak masih berwujud klasik: bertenaga kayuh dengan komponen lengkap. Sepasang roda depannya dilindungi selebor cembung berhias gambar-gambar indah. Ia juga dilengkapi lampu penerang. Lampu dipasang di kedua sisi, tepat di atas roda bagian depan. Ada yang menggunakan lampu ting bertenaga minyak. Ada pula yang memanfaatkan tenaga dinamo.

Tak sekadar hiasan, komponen-komponen itu punya fungsi masing-masing. Selebor misalnya, selain melindungi roda, juga menangkal cipratan air,
debu, atau pasir. Sedangkan lampu untuk menerangi jalan, sekaligus penanda keberadaan.

“Dulu becak dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni siang dan malam. Becak yang beroperasi siang hari warnanya biru. Sedangkan yang malam berwarna kuning. Nah, becak malam inilah yang wajib menggunakan lampu. Kalau ketahuan tidak berlampu, bisa kena tilang,” kata Yauw Kok Hwei, pemilik pabrik becak Satu Hati.


Namun di pengujung 1970-an, lanjut Kok Hwei, lampu penerang pada becak perlahan-lahan hilang. Demikian pula gambar-gambar indah penghias selebor. Otoritas kota saat itu, meminta pemilik becak menerakan tulisan ’’Pemerintah Dati II Semarang’’ pada selebor becak mereka.


Pasca-Reformasi, kondisi becak Semarang kian mengenaskan. Pemilik maupun pengemudi memilih mencopot slebor becak mereka. Alasannya, selebor cembung berbahan besi itu dianggap berat, sehingga mengganggu pergerakan becak.


’’Susah kalau pakai selebor. Untuk jalan di tempat-tempat ramai seperti pasar bisa nyenggol-nyenggol,’’ tutur Purwoto (70), tukang becak yang biasa mangkal di ujung Jalan Madukoro.

Tanpa selebor dan lampu, becak Semarang terlihat kurang menarik. Itulah mengapa Agus Leonardus tak menjadikannya sebagai objek foto untuk pameran bertajuk Waton Urip pada 2007 lalu. Fotografer kawakan dari Yogyakarta itu lebih suka menjepret becak-becak yang beroperasi di Purwokerto, Solo, dan kota asalnya.

Mesin Tempel

Ya, becak Semarang kini mulai bertransformasi, dari tenaga kayuh ke tenaga mesin. Selain yang berkawin dengan sepeda motor, ada juga becak yang menggunakan mesin tempel. Itulah becak milik Sutarto (51) yang sehari-hari mangkal di Jalan MT Haryono, tepatnya di ujung Kampung Kulitan.


Becak lelaki yang mukim di Kampung Rogojembangan, Tembalang itu dipasangi mesin kompresor. Diletakkan di belakang sadel, mesin itu dihubungkan dengan rantai untuk menggerakkan gir. Dibanding sepeda motor, penggunaan mesin tempel pada becak jauh lebih murah.


“Saya beli kompresor seharga Rp 650.000. Ditambah ongkos masang dan modifikasi, totalnya jadi Rp 2 juta. Kalau pakai sepeda motor bisa sampai Rp 5 juta,” ujar Sutarto.


Selain itu, pilihan menggunakan mesin tempel juga dilakukan untuk alasan lain. Jika memakai sepeda motor, pemilik harus membayar pajak dan mengurus perpanjangan surat kendaraan, mesin tempel zonder perizinan.

“Memang sih, dibanding sepeda motor, jalannya lebih lambat. Tapi keuntungannya tidak repot mengurus surat ini itu. Bensinnya juga lebih irit.”

Jika dirunut, becak motor di Semarang sebenarnya sudah ada sejak awal tahun 2000-an. Pelopornya para tukang becak yang mangkal di ujung Jalan Gatot Soebroto, tepatnya di sebelah timur SPBU Krapyak. Becak motor di tempat itu buah persaingan antara tukang becak dengan tukang ojek.


“Kami, para pengemudi becak motor, awalnya tukang becak biasa yang beroperasi siang hari. Sedangkan tukang ojek menggantikan pada malam hari. Tapi dalam perkembangannya, tukang ojek juga narik siang. Tentu itu merugikan tukang becak. Tak mau kalah bersaing, kami lalu memodifikasi becak dengan sepeda motor,” papar Kasnadi (51), pengemudi becak motor.


Ya, persaingan dengan moda transportasi lain, ditambah maraknya kepemilikan sepeda motor menjadikan becak konvensional tersingkir. Modifikasi, seperti yang dilakukan Wagiman, Sutarto, dan Kasnadi merupakan ikhtiar untuk mempertahankan eksistensi kendaraan tradisional itu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari 'Ubadah bin ash Shamit r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa percaya bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Nabi Muhammadadalah hamba dan utusan-Nya dan bahwa Nabi Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya dan kalimat-Nya yang diturunkan kepada Maryam dan ruh daripada-Nya dan bahwa surga itu benar adanya (haq) maka Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga dengan amal perbuatannya (yang baik) seberapa pun adanya."
(Bukhari - Muslim)

2 komentar :

  1. syamsul rijal mengatakan... :

    mantap kawan dengan becak motornya dimana2 dah menjamur di tempat aku jg dah banyak.....gimn dengan remun kawan sulsel sdh terima

Posting Komentar